Hadiah Komersial
HADIAH KOMERSIAL
Oleh
Ustadz Dr Erwandi Tarmidzi, MA
Di antara maqâshid syariat Islam yakni menciptakan rasa saling kasih, saling sayang dan saling mencintai antara sesama hamba Allâh, pengikut Nabi akhir zaman. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan saling kasih dan mencintai yaitu berbagi rezeki dalam bentuk sedekah atau hadiah kepada saudara seiman.
Sedekah yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan tanpa mengharap imbalan dari orang tersebut.
Hadiah yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain tanpa imbalan dengan tujuan mempererat hubungan atau sebagai penghormatan, dan orang yang diberi hadiah bukanlah orang dalam ekonomi sulit.
Tindakan saling berbagi hadiah dianjurkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: تَهَادُوا تَحَابُّوا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah! Niscaya kalian akan saling mencintai“. [HR. Al-Bukhâri dalam kitab Adabul Mufrad. Hadis ini dinyatakan hasan oleh al-Albani].
Dan untuk menjaga perasaan pemberi hadiah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar orang yang diberi tidak menolaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَجِيبُوا الدَّاعِيَ، وَلَا تَرُدُّوا الْهَدِيَّةَ
Hadirilah undangan dan jangan tolak hadiah! [HR. Ahmad. Arnauth menyatakan sanad hadis ini jayyid].
Aisyah Radhiyallahu anhuma juga meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan membalasnya. [HR. Al-Bukhâri].
Sekalipun terkadang hadiah yang diberikan tidak terlalu berharga, tetap dianjurkan untuk menerimanya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah sekalipun kikil kambing. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Aku akan menghadiri undangan, sekalipun untuk makan kikil kambing kaki depan atau kaki belakang dan aku menerima hadiah, sekalipun kikil kambing kaki depan atau kaki belakang. [HR. Al-Bukhâri].
Di era modern ini, para pedagang memanfaatkan pemberian hadiah untuk menarik konsumen sebanyak mungkin agar keuntungan yang diperoleh semakin besar. Cara pembagian hadiahpun dibuat beraneka ragam, beli satu dapat dua, diskon harga di setiap musim tertentu, door prize, undian berhadiah, puzzle potongan gambar yang dikumpulkan dari barang yang dibeli, ataupun mengumpulkan huruf-huruf sehingga membentuk kata yang diinginkan, hadiah tunai dalam setiap kemasan, dan lain sebagainya.
Seorang Muslim tentu ingin mengetahui hukum hadiah komersial ini, karena dalam beberapa bentuknya mirip dengan judi dan mengandung gharar
CINDERA MATA (SOUVENIR)
Banyak para pedagang dan pengusaha membuat cindera mata dalam bentuk kalender, gantungan kunci, cangkir, buku catatan harian, pena dan alat tulis lainnya untuk dibagikan cuma-cuma kepada setiap pembeli dan pelanggan sebagai kenang-kenangan dan untuk mempromosikan usaha atau barang mereka.
Pada saat penerima hadiah membutuhkan barang atau jasa yang dipromosikan itu, mereka bisa langsung ingat dan akan menghubungi pemberi hadiah. Karena alamat lengkap perusahaan pemberi souvenir tersebut tertera pada cindera mata yang dibagikan.
Hadiah jenis ini termasuk hibah, boleh diterima kecuali hadiah digunakan untuk kepentingan haram, seperti asbak rokok dan kalender yang bergambar wanita yang tidak menutup aurat atau hadiah tersebut berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang haram, seperti kalender dari bank riba, karena hadiah tersebut bagian dari promosi untuk menggunakan barang atau jasa pemberi hadiah.
HADIAH PROMOSI
Hadiah promosi terkadang diberikan oleh sebuah perusahaan sebelum pembelian barang dalam bentuk contoh barang (sampel) dengan tujuan memperkenalkan barang dagangannya kepada calon konsumen. Andai kata, suatu saat konsumen menginginkan barang dalam jumlah besar, dia telah melihat contohnya. Hukum hadiah ini boleh karena termasuk hadiah (hibah) yang dibolehkan.
Bila calon pembeli berpedoman kepada contoh dan tidak melihat langsung atau menyaksikan barang yang akan dibelinya, apakah jual-beli ini dibolehkan?
Para Ulama berbeda pendapat tentang jual-beli barang berdasarkan contoh:
Pendapat pertama: Jual beli ini tidak sah, karena termasuk jual-beli yang mengandung unsur gharar, dimana barang yang dibeli tidak disaksikan dalam akad dan contoh yang diperlihatkan belum tentu sama seperti barang yang dibeli. Ini merupakan pendapat yang terkuat dalam mazhab Hanbali.
Pendapat kedua: Jual beli ini hukumnya boleh. Ini merupakan pendapat mayoritas para Ulama mazhab. Karena unsur ketidakjelasan (gharar) dalam barang yang merupakan objek akad telah tiada. Dengan cara melihat barang contohnya dengan syarat barang yang hendak dijual sama persis spesifikasinya dengan contoh yang diperlihatkan.
Wallahu alam, pendapat yang membolehkan jual beli barang berdasarkan contoh adalah pendapat yang terkuat, karena untuk dewasa ini kesamaan barang dengan contoh telah menjadi ukuran mutu sebuah barang, dengan demikian unsur gharar dalam barang objek akad dapat diminimalkan[1].
Dan terkadang hadiah promosi diberikan oleh sebagian super market dan toko besar dengan menjanjikan bagi pembeli jika berbelanja di toko mereka di atas nominal tertentu akan diberi hadiah menarik yang tidak dijelaskan ciri-ciri fisiknya. Hal ini bertujuan untuk menarik pembeli sebanyak mungkin.
Setelah konsumen berbelanja di atas nominal yang disyaratkan, pembeli mengunjukkan lembaran tanda pembayaran ke bagian yang bersangkutan dan menukarnya dengan hadiah. Hadiah yang diberikan terkadang berupa piring, cangkir, dan peralatan rumah tangga lainnya.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum hadiah ini.
Pendapat pertama: Sebagian Ulama kontemporer, seperti Syaikh Dr. Abdullah al-Jibrin rahimahullah dan Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengharamkan pemberian hadiah dengan cara ini.
Dalil pendapat ini: bahwa harga dari hadiah yang dijanjikan telah dihitung pada saat pembayaran barang yang dibeli. Andaikata nominal yang disyaratkan Rp. 500.000,00 maka hakikatnya dia membeli barang seharga Rp 480.000,00 dan Rp 20.000,00 lagi disisihkan untuk harga hadiah yang dijanjikan.
Dengan demikian sesungguhnya hadiah adalah bagian dari barang yang dibeli dan bukan murni hadiah. Dan ini termasuk jual-beli gharar, karena hadiah (barang yang dibeli) tidak jelas, bisa jadi berbetuk piring, gelas, sendok, baju kaos dan lain sebagainya. Karena hadiah bentuk ini termasuk jual-beli gharar maka hukumnya haram.
Selain mengandung gharar, cara ini juga dapat merugikan pedagang lain yang tidak memberikan hadiah promosi, terutama pedagang kecil. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat madharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan. [HR. Ibnu Mâjah. Hadits ini di shahihkan oleh al-Albani]
Tanggapan: Hadiah yang diberikan tidak diambil dari pembayaran barang, karena nilai barang pada saat pembagian hadiah dan pada saat tidak ada hadiah itu tetap, tidak berubah. Ini berarti bahwa hadiah tidak ditarik harganya dari barang yang dibeli.
Adapun cara ini dapat merugikan pedagang lain yang tidak memberikan hadiah maka tidak dapat dibenarkan. Karena setiap pedagang memiliki cara tersendiri untuk menarik para pelanggan. Mungkin dengan cara mengantar barang ke alamat tanpa ditarik imbalan, atau fasilitas barang yang dibeli dapat dikembalikan dalam tenggang waktu tertentu yang dinamakan (khiyar syarat) dan lainnya. Jadi, hadiah bukanlah satu-satunya cara untuk menarik pembeli. Sebagaimana khiyar syarat tidak dapat diharamkan karena merugikan pedagang lain yang tidak menggunakannya maka hadiah juga tidak dapat diharamkan. Karena pada dasarnya hadiah hukumnya mubah.
Pendapat kedua: Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah membolehkan pemberian hadiah dengan cara ini. Beliau rahimahullah berkata, “Bila harga barang yang dijual oleh pedagang yang menjanjikan hadiah untuk pembeli dengan nominal belanjanya di atas sekian sama dengan harga yang dijual oleh pedagang lain yang tidak memberikan hadiah maka hukumnya boleh”.
Pendapat ini didasarkan kepada hukum muamalat bahwa pada prinsipnya halal kecuali terdapat hal-hal yang diharamkan. Dalam pemberian hadiah cara ini tidak terdapat larangan karena hadiah yang diberikan murni hadiah dan tidak mengapa terdapat gharar dalam akad hadiah[2].
Wallahu a’lam, dari tinjaun dalil pendapat yang membolehkan memberi dan menerima hadiah dengan cara ini lebih kuat.
HADIAH PROMOSI LANGSUG
Terkadang hadiah yang diberikan oleh pedagang kepada pembeli diikat dengan barang, lalu dijual seharga satu barang dan satunya lagi hadiah, atau diikat tiga barang dan dijual seharga dua barang. Biasanya hadiah seperti ini diiklankan dengan beli satu dapat dua, atau beli dua dapat tiga.
Cara pemberian hadiah seperti ini selain untuk menarik pembeli juga bertujuan mempertahankan harga barang. Terkadang juga bertujuan untuk menghabiskan barang yang tersimpan lama di gudang dan telah mendekati masa kadaluarsa.
Pemberian hadiah dengan cara ini hukumnya boleh, karena sekalipun harga hadiah telah dihitung dan dimasukkan ke dalam harga barang yang lain akan tetapi barang dan harganya jelas tidak terdapat unsur gharar. Dengan demikian hukum hadiah bentuk ini kembali kepada hukum asal muamalat yaitu boleh
Hadiah yang Diberikan dengan Cara Melengkapi Gambar, Mengumpulkan Huruf atau Mengumpulkan Kemasan
Terkadang hadiah diberikan dengan cara, perusahaan produsen barang memotong gambar mobil menjadi beberapa bagian lalu masing-masing bagian diletakkan ke dalam kemasan barang. Pembeli yang berhasil mengumpulkan seluruh potongan gambar hingga lengkap membentuk gambar mobil berhak mendapat mobil dari perusahaan. Juga terkadang dengan meletakkan huruf-huruf tertentu pada setiap kemasan barang dan pelanggan diminta untuk mengumpulkan huruf-huruf sehingga membentuk kalimat tertentu. Juga terkadang dengan mengumpulkan bungkus kemasan barang yang dijual dalam jumlah tertentu.
Hukum membeli barang ini dengan tujuan selain mendapat barang juga mendapat kesempatan untuk mendapatkan hadiah mobil adalah haram.
Berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Pemberian hadiah dengan cara seperti ini termasuk qimâr (judi) dan gharar. Karena pembeli barang atau pengguna jasa mengeluarkan uang untuk membeli barang dan potongan gambar. Pada waktu pembelian, dia tidak dapat memastikan apakah akan mendapatkan potongan gambar yang dicarinya atau tidak. Jika mendapatkan potongan gambar ia beruntung dan jika tidak mendapatkannya, jelas ia rugi. Spekulasi jenis ini termasuk gharar dan qimâr yang disepakati oleh para Ulama akan hukumnya yang haram.
Tanggapan: Tujuan utama pembeli pada saat membeli adalah barang. Adapun hadiah hanyalah sebagai pengikut. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa gharar yang terdapat pada akad dengan status pengikut tidak diharamkan, maka membeli barang sambil mendapatkan kesempatan meraih hadiah tidaklah dilarang.
Dan juga tidak ada untung rugi dalam hal ini. Karena jika pembeli tidak mendapat potongan gambar ia telah mendapatkan barang dengan harga normal tanpa dirugikan. Dan jika mendapatkan potongan gambar ia telah beruntung dengan mendapatkan barang ditambah keuntungan mendapat hadiah.
Jawaban atas tanggapan: Tidak benar, tujuan untuk mendapatkan potongan hanya sekedar pengikut, terlebih lagi jika hadiah yang diinginkan bernilai mahal seperti mobil. Tentu keingingan untuk mendapatkan potongan gambar tidak kalah dengan keinginan untuk mendapatkan barang.
Kemudian kegagalannya memperoleh potongan gambar dianggap rugi sekalipun tetap mendapatkan barang, karena telah hilang kesempatan meraih hadiah yang diinginkan.
2. Pemberian hadiah dengan cara ini mengajarkan masyarakat hidup mubazir, membeli barang melebihi kebutuhannya dan keluarganya. Hal ini ia lakukan karena berharap akan menemukan potongan gambar atau huruf lainnya pada kemasan yang dibeli berikutnya, semakin banyak ia membeli semakin besar kesempatan untuk memenangkan hadiah.
Allah telah melarang gaya hidup mubazir, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [Al-An’âm/6:141]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا ﴿٢٦﴾ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. [Al-Isrâ’/17: 26-27].
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Bentuk lain dari pemberian hadiah, yaitu dengan cara gambar mobil dibagi dua, satu bagian gambar mobil dimasukkan ke dalam salah satu kemasan barang dan potongan gambar lainnya tidak diketahui apakah dimasukkan ke dalam kemasan lain atau tidak sama sekali. Sekalipun dimasukkan ke dalam kemasan barang lain hukumnya tetap haram. Karena pembeli yang membeli satu kemasan lalu mendapatkan gambar salah satu bagian mobil ia akan terus membeli barang. Ia berharap akan menemukan gambar bagian lainnya dan memenangkan hadiah mobil. Padahal satu kemasan saja sudah mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya. Dan kenyataannya, ia tidak menemukan potongan lainnya. Ia telah rugi, karena telah mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli berkotak-kotak barang dan ia tidak mendapatkan yang diinginkan. Ini termasuk gharar (spekulasi) dan membuang-buang harta. Dan hukum perbuatan ini adalah haram”[3].
HADIAH UANG TUNAI ATAU EMAS
Di antara trik perusahaan atau pedagang untuk meningkatkan penjualan barang adalah dengan memberikan hadiah berupa uang tunai atau emas yang terkadang terpisah dengan barang dan terkadang menyatu dalam barang dalam bentuk cincin atau koin emas di salah satu kemasan atau uang tunai. Adakalanya hadiah uang tunai atau emas diberikan kepada setiap pembeli dan adalakanya hanya untuk yang beruntung saja. Dengan cara produsen mencantumkan pada setiap kemasan bahwa pembeli yang beruntung akan memperoleh sebuah cincin atau koin emas sekian gram dalam kemasan barang.
Jika uang tunai atau emas diberikan kepada setiap pembeli, apa hukum dari hadiah seperti ini?
Pemberian hadiah serupa ini dapat ditakhrij dengan permasalahan yang dijelaskan dahulu oleh para ahli fiqh dikenal dengan “Mud ‘ajwah wa dirham bi dirham” (satu mud kurma Ajwah ditambah satu dirham ditukar dengan 2 dirham).
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum “mud ‘ajwah wa dirham bi dirham “.
Pendapat pertama: mud ‘ajwah wa dirham bi dirham hukumnya tidak boleh. Ini merupakan pendapat mazhab Syâfii dan Hanbali.
Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Fudhâlah bin Ubaid Radhiyallahu anhu bahwa dalam perang Khaibar ia membeli kalung emas permata seharga 12 Dinar (uang emas). Lalu ia memisahkan emas dari permata, ternyata emas dari kalung tersebut lebih berat dari 12 Dinar. Lalu ia memberitahu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ
Kalung emas permata itu tidak boleh dijual sebelum dipisah antara emas dan permata. [HR. Muslim]
Dalam riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah memerintahkan untuk memisahkan emas dari permata pada kalung:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ
Emas ditukar dengan emas, harus sama beratnya. [HR. Muslim].
Dalam hadis di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual suatu barang yang terdiri dari bahan emas dan bahan lainnya dengan emas (uang dinar). Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar emas terlebih dahulu dipisah dari benda lainnya. Setelah emas dipisah maka emas ditukar dengan uang dinar (emas) dengan syarat harus sama beratnya serta tunai.
Dari kasus ini, tidak boleh menukar mobil ditambah dengan hadiah uang tunai dengan uang tunai, karena hukum uang kartal disamakan dengan emas dan perak. Maka berdasarkan hadits ini uang tunai hadiah ditukar dengan uang tunai pembeli secara langsung dan sama nominalnya dan setelah itu baru dilakukan pembelian mobil.
Tanggapan: dalil ini tidak terlalu tepat untuk hadiah uang tunai, karena dalam kasus hadits Fudhâlah emas yang bersama kalung permata lebih banyak daripada emas harga kalung, berbeda dengan mobil plus uang tunai ditukar dengan uang tunai. Dimana jumlah uang tunai pembeli jauh lebih banyak.
Pendapat kedua: mud ‘ajwah wa dirham hukumnya boleh jika emas yang menjadi pembayar lebih banyak daripada emas yang beserta barang. Pendapat ini merupakan mazhab Mâliki dan Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dalil pendapat ini bahwa ini adalah jual beli dan hukum asal jual beli boleh berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
Allâh telah menghalalkan jual beli [Al-Baqarah/2:275]
Hakikat jual beli mobil + uang tunai 10 juta rupiah dengan uang tunai 300 juta rupiah adalah: uang tunai 10 juta rupiah yang merupakan hadiah ditukar dengan uang tunai 10 juta rupiah yang merupakan sebagian dari harga dan mobil ditukar dengan uang tunai 290 juta rupiah. Ini adalah jual beli yang terpenuhi syarat beserta rukunnya, hukumnya boleh.
Juga dalil dari pendapat ini bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ، فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ المُبْتَاعُ
Barangsiapa menjual budak dan budak tersebut memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkan (bahwa harta budak menjadi miliknya). [HR. Al-Bukhâri dan Muslim].
Dalam hadis di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk memisahkan antara budak dengan hartanya, padahal kemungkinan harta bawaan budak tersebut berbentuk emas atau perak, yang ketika ditukar dengan harga uang emas dan perak haruslah mengikuti kaidah sharf agar tidak terjadi riba ba’i.
Ketiadaan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memisah antara budak dengan harta bawaannya dikarenakan status harta hanyalah sebagai pengikut, sedangkan tujuan objek jual-beli adalah budak. Oleh karena itu, menjual mobil yang merupakan tujuan dari akad ditambah dengan uang tunai ditukar dengan uang tunai hukumnya boleh karena uang tunai hadiah hanyalah sebagai pengikut dalam akad jual beli mobil dan bukan tujuan.
Wallahu a’lam pendapat kedua yang membolehkan pemberian hadiah dalam bentuk uang tunai atau emas hukumnya boleh.
HADIAH EMAS ATAU UANG TUNAI PADA SEBAGIAN BARANG
Jika hadiah uang tunai atau emas dengan cara emas atau uang tunai diselipkan pada sebagian kemasan dan diberitahukan bahwa jika beruntung pembeli akan mendapat uang tunai atau emas, maka orang-orang akan membeli barang sebanyak mungkin. Mereka berharap akan mendapatkan emas di dalam kemasan, selain juga mendapatkan barang yang dibeli.
Hukum pemberian dan menerima hadiah dengan cara ini diharamkan, berdasarkan dalil-dalil berikut:
- Hal ini termasuk qimar dan gharar, karena pembeli saat membeli kemasan barang selain bertujuan mendapatkan barang juga bertujuan mendapatkan emas.
Dan pada saat transaksi pembelian dilakukan ia tidak tahu apakah emas yang diinginkannya ada pada kemasan yang dibeli atau tidak? Ini dinamakan ba’i gharar (barang tidak jelas keberadaannya). Jika ternyata tidak ada emas di dalam kemasan ia rugi dan jika ada ia beruntung. Spekulasi ini dinamakan qimar (judi). Qimar dan gharar hukumnya haram.
- Hadiah dengan cara ini juga mengajarkan masyarakat hidup boros. Mereka akan membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan mendapatkan emas yang ada pada kemasan[4].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dr. Khalid al-Mushlih, al-Hawafiz at-Tijâriyah, hlm. 102-103.
[2] Dr. Khalid al Mushlih, al Hawafiz at-Tijâriyah, hlm. 75-92.
[3] Dr. Khalid Al Mushlih, Al hawafiz attijariyah, hal 97-98.
[4] Dr. Khalid Al Mushlih, Al hawafiz attijariyah, hal 113-115.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6045-hadiah-komersial.html